KETUA Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (DPP PERADIN)
Ropaun Rambe menyatakan, Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi)
bukan organisasi advokat melainkan sebuah paguyuban.
Pernyataan Rambe ini disampaikannya pada seminar nasional Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dalam rangka mendesak DPR dan pemerintah agar segera mensahkan RUU Advokat menjadi Undang-Undang di Hotel Paninsula Jakarta, Selasa (23/9).
Tidak cuma itu, Rambe pun menuding kegiatan pendidikan dan sertifikasi bagi advokat baru yang dilakukan peradi semata untuk mengeruk keuntungan.
Disinggung mengenai wadah tunggal bagi profesi advokat, Rambe kembali menegaskan format tersebut adalah peninggalan Orde Baru ketika penguasa saat itu berusaha memberangus kiprah dan keberanian para advokat dalam menegakkan kebenaran, penegakan HAM dan bantuan hukum bagi mereka yang tertindas.
"Wadah tunggal sudah sangat tidak tepat. Nereka yang menyuarakan wadah tunggal hanya berusaha mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya dari kegiatan pendidikan dan sertifikasi bagi advokat baru," ujarnya.
Desak DPR Sahkan RUU Advokat
Ketua IKADIN Malang, Joni Irawan SH, mendesak DPR untuk segera mensahkan RUU Advokad menjadi Undang-Undang."Ini bisa dilakukan melalui hak inisiatif yaitu hak DPR untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)," ujar Joni disela seminar nasional IKADIN di Hotel Paninsula Jakarta, Selasa (23/9).
Pasalnya, kata dia, undang-undang advokat yang ada saat ini tidak bisa menyelesaikan masalah yang terjadi di oganisasi advokat.
"Bahkan, permasalahan advokat pasca berlakunya UU No 18 Tahun 2003 merupakan yang paling buruk dalam sejarah advokat di republik ini," ungkap Joni.
Sementara Rambe siap melaporkan anggota dewan yang menangani RUU itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau tidak disahkan sampai 30 September, maka tanggal 1 Oktober saya akan laporkan anggota dewan itu atau pansus itu ke KPK, karena terjadi korupsi,” katanya di sela mengisi Seminar Nasional “Menyongsong Undang-Undang Advokat yang Baru Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional”, di Hotel Menara Peninsula, Jl. Let. Jend. S. Parman, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (23/9).
Korupsi yang dia maksud, menurutnya dapat terjadi apabila RUU Advokat itu tidak disahkan menjadi Undang-Undang. Pasalnya, menurut dia, setiap RUU dianggarkan Rp17 miliar.
“Kalau lah RUU Advokat itu tidak disahkan menjadi Undang-Undang itu sudah merupakan perbuatan korupsi. Apakah Anda tidak tahu berapa biaya pembuatan suatu Undang-Undang? Itu minimal Rp17 miliar. Karenanya, negara dapat dirugikan minimal Rp17 miliar,” ucapnya.
Anggaran sebesar itu, katanya, biasa digunakan anggota dewan untuk bermacam-macam kegiatan yang terkait dengan pembahasan RUU. Di antaranya melakukan studi banding dan sosialisasi.
“Kalau diketok mereka dapat lagi Rp3 miliar. Jadi dari satu RUU itu atau satu Undang-Undang, Rp20 miliar negara menyiapkan anggaran untuk itu. Belum lagi anggaran dari kantong kocek masing-masing seperti Peradin, seperti Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), ini kan semuanya membuang biaya,” bebernya.
Karena itu, menurutnya, akan menjadi sia-sia semua anggaran itu bila akhirnya RUU Advokat tersebut tidak disahkan menjadi Undang-Undang. Meski begitu ia meyakini, DPR segera mensahkan RUU tersebut.
“Mengenai RUU Advokat, saya katakan, sampai detik hari ini, bola itu masih bundar. Akan tetapi dengan beberapa ancaman dari pihak kami, organisasi advokat, dalam keadaan apa pun yang terjadi, insya Allah, sampai komunikasi tadi,” tuntasnya.
Wakil Ketua Umum Ikadin, Maqdir Ismail menjelaskan perlunya disahkan RUU advokat itu, yakni selain untuk mengakhiri pertikaian antar organisasi advokat juga agar ada perbaikan pola pendidikan advokat.
“Kemudian, dengan adanya undang-undang advokat ini maka apa yang kita harapkan adalah bahwa proses peradilan terhadap anggaran kode etik akan dilakukan secara baik oleh organisasi dan nantinya tentu akan dienforce oleh suatu lembaga tertentu yang akan menjadi lembaga enforcement terhadap putusan pengadilan kode etik yang akan datang,” ujarnya.
Dalam RUU itu, juga katanya, dibahas soal lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN). Lembaga ini, menurutnya, akan bekerja lebih untuk kepentingan advokat.
“Jadi tidak benar UU Advokat yang akan diberlakukan tersebut mencerminkan adanya campur tangan pemerintah karena akan ada lembaga DAN di dalamnya,” tuturnya.
Sedangkan Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia, Frans Hendra Winarta mengatakan, dengan adanya UU tersebut, akan memungkinkan profesi advokat menjadi profesi terhormat, penuh kejujuran dan pejuang keadilan yang sesungguhnya sebagai alat kontrol proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
“Polisi, jaksa, hakim sudah ada reformasi birokrasi. Kenapa lawyer tidak ada? Ini yang menurut saya penting diperlukannya RUU Advokat sekarang ini,” tuntasnya.
Seperti diketahui, pro dan kontra muncul dalam pembahasan RUU Advokat. Anggota dewan sudah membentuk panitia kerja (panja), tapi rancangan ini belum juga tuntas hingga menjelang akhir masa tugas DPR RI periode 2009-2014. (yo/dika)
Pernyataan Rambe ini disampaikannya pada seminar nasional Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dalam rangka mendesak DPR dan pemerintah agar segera mensahkan RUU Advokat menjadi Undang-Undang di Hotel Paninsula Jakarta, Selasa (23/9).
Tidak cuma itu, Rambe pun menuding kegiatan pendidikan dan sertifikasi bagi advokat baru yang dilakukan peradi semata untuk mengeruk keuntungan.
Disinggung mengenai wadah tunggal bagi profesi advokat, Rambe kembali menegaskan format tersebut adalah peninggalan Orde Baru ketika penguasa saat itu berusaha memberangus kiprah dan keberanian para advokat dalam menegakkan kebenaran, penegakan HAM dan bantuan hukum bagi mereka yang tertindas.
"Wadah tunggal sudah sangat tidak tepat. Nereka yang menyuarakan wadah tunggal hanya berusaha mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya dari kegiatan pendidikan dan sertifikasi bagi advokat baru," ujarnya.
Desak DPR Sahkan RUU Advokat
Ketua IKADIN Malang, Joni Irawan SH, mendesak DPR untuk segera mensahkan RUU Advokad menjadi Undang-Undang."Ini bisa dilakukan melalui hak inisiatif yaitu hak DPR untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)," ujar Joni disela seminar nasional IKADIN di Hotel Paninsula Jakarta, Selasa (23/9).
Pasalnya, kata dia, undang-undang advokat yang ada saat ini tidak bisa menyelesaikan masalah yang terjadi di oganisasi advokat.
"Bahkan, permasalahan advokat pasca berlakunya UU No 18 Tahun 2003 merupakan yang paling buruk dalam sejarah advokat di republik ini," ungkap Joni.
Sementara Rambe siap melaporkan anggota dewan yang menangani RUU itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau tidak disahkan sampai 30 September, maka tanggal 1 Oktober saya akan laporkan anggota dewan itu atau pansus itu ke KPK, karena terjadi korupsi,” katanya di sela mengisi Seminar Nasional “Menyongsong Undang-Undang Advokat yang Baru Dalam Perspektif Pembangunan Hukum Nasional”, di Hotel Menara Peninsula, Jl. Let. Jend. S. Parman, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (23/9).
Korupsi yang dia maksud, menurutnya dapat terjadi apabila RUU Advokat itu tidak disahkan menjadi Undang-Undang. Pasalnya, menurut dia, setiap RUU dianggarkan Rp17 miliar.
“Kalau lah RUU Advokat itu tidak disahkan menjadi Undang-Undang itu sudah merupakan perbuatan korupsi. Apakah Anda tidak tahu berapa biaya pembuatan suatu Undang-Undang? Itu minimal Rp17 miliar. Karenanya, negara dapat dirugikan minimal Rp17 miliar,” ucapnya.
Anggaran sebesar itu, katanya, biasa digunakan anggota dewan untuk bermacam-macam kegiatan yang terkait dengan pembahasan RUU. Di antaranya melakukan studi banding dan sosialisasi.
“Kalau diketok mereka dapat lagi Rp3 miliar. Jadi dari satu RUU itu atau satu Undang-Undang, Rp20 miliar negara menyiapkan anggaran untuk itu. Belum lagi anggaran dari kantong kocek masing-masing seperti Peradin, seperti Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), ini kan semuanya membuang biaya,” bebernya.
Karena itu, menurutnya, akan menjadi sia-sia semua anggaran itu bila akhirnya RUU Advokat tersebut tidak disahkan menjadi Undang-Undang. Meski begitu ia meyakini, DPR segera mensahkan RUU tersebut.
“Mengenai RUU Advokat, saya katakan, sampai detik hari ini, bola itu masih bundar. Akan tetapi dengan beberapa ancaman dari pihak kami, organisasi advokat, dalam keadaan apa pun yang terjadi, insya Allah, sampai komunikasi tadi,” tuntasnya.
Wakil Ketua Umum Ikadin, Maqdir Ismail menjelaskan perlunya disahkan RUU advokat itu, yakni selain untuk mengakhiri pertikaian antar organisasi advokat juga agar ada perbaikan pola pendidikan advokat.
“Kemudian, dengan adanya undang-undang advokat ini maka apa yang kita harapkan adalah bahwa proses peradilan terhadap anggaran kode etik akan dilakukan secara baik oleh organisasi dan nantinya tentu akan dienforce oleh suatu lembaga tertentu yang akan menjadi lembaga enforcement terhadap putusan pengadilan kode etik yang akan datang,” ujarnya.
Dalam RUU itu, juga katanya, dibahas soal lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN). Lembaga ini, menurutnya, akan bekerja lebih untuk kepentingan advokat.
“Jadi tidak benar UU Advokat yang akan diberlakukan tersebut mencerminkan adanya campur tangan pemerintah karena akan ada lembaga DAN di dalamnya,” tuturnya.
Sedangkan Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia, Frans Hendra Winarta mengatakan, dengan adanya UU tersebut, akan memungkinkan profesi advokat menjadi profesi terhormat, penuh kejujuran dan pejuang keadilan yang sesungguhnya sebagai alat kontrol proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
“Polisi, jaksa, hakim sudah ada reformasi birokrasi. Kenapa lawyer tidak ada? Ini yang menurut saya penting diperlukannya RUU Advokat sekarang ini,” tuntasnya.
Seperti diketahui, pro dan kontra muncul dalam pembahasan RUU Advokat. Anggota dewan sudah membentuk panitia kerja (panja), tapi rancangan ini belum juga tuntas hingga menjelang akhir masa tugas DPR RI periode 2009-2014. (yo/dika)








